TIONGHOA DI GUNUNG KAWI
Pedukuhan Wonosari lambat laun banyak dikunjungi para tamu. Tepatnya saling berziarah ke pesarean Gunung Kawi.
Para pengunjung tersebut kebanyakan datang dari daerah: Malang, Blitar, Tulung Agung, Surabaya. Karena tambah banyaknya tamu dari golongan Tionghoa , yang dalam tata cara ziarah tidaklah mungkin bersama-sama dengan golongan-golongan lain, maka atas saran dan petunjuk Tan Kie Yam, Mbah kasiyo dan Mbah Mbah Djuwul mendirikan rumah ibadah Tionghoa dengan nama Pat Kwa Teng. Di samping bangunan Mesjid untuk para tamu pemeluk agama Islam.
Pembangunan Pat Kwa Teng itu terlaksana di dalam th. 1940. Ditandai dengan candra sengkala huruf jawa pada regol jalan ke Pesarean yang berbunyi "PASAREAN KAWI" Kumbuling sabdo marganing leno.,
Peralatan tata ibadah ini dilengkapi dengan Ciamsi, atau pal nasib. Yang dalam bahasa jawanya adalah UGEM.
UGEM atau CIAMSI ini dapat dipersamakan pungsinya dengan Astrologi atau ramalan Bintang kelahiran.
Dengan adanya perlengkapan peribadatan Ciamsi ini, makin ramailah para tamu Tionghoa yang berziarah. Sebab yang menjadi kelengkapan cara persembahyangannya telah terpenuhi. Mereka dapat beribadah dengan Merdeka. Keterkabulan mereka diimbali dengan pemberian-pemberian souvenir-soevenir dan berbagai macam melepas nazar. Ada di antaranya yang menyelenggarakan selamatan, nanggap wayang kulit, memberikan hiasan-hiasan dinding jam tembok, lampu dll. Kesemua pemberian itu disertai tulisan-tulisan huruf Tionghoa. Hingga mengakibatkan tata hias ruang-ruang Pesarean Gunung Kawi saat itu berciri khas ketionghoawaan.
Oleh sebab itu tidaklah heran bahwa ada sementara golongan bangsa kita yang hanya mengenal kulitnya saja menganggap bahwa Mbah Djoego dan Mbah Iman Soedjono itu bangsa Cina. Terbukti dengan nama-nama sebutan "TWA LO SOE" dan "DJIE LO SOe". diperkuat lagi timbulnya anggapan itu melihat tata hias sekitar Pesarean yang berciri khas Tionghoa.
Padahal sebenarnya tidak demikian. Sebutan Twa dan Djie Lo So untuk almarhum berdua itu maksudnya adalah panggilan kehormatan dari pengunjung kalangan Cinaterhadap almarhum. Panggilan itu berarti Guru besar pertama untuk sebutan Twa Lo Soe bagi Mbah Djoego, dan Guru besar kedua untuk sebutan Djoe Lo Soe bagi Mbah Iman Soedjono.
Begitu besar pengunjung-pengunjung Tionghoa menghormati almarhum sampai-sampai mereka mengakui almarhum itu adalah Guru besarnya.
Di kain pihak, ahli warisnya saat itu belum berani mengungkapkan riwayat hidup almarhum seperti ini.
Sebab penuh dikuasai ketakutan akan melanggar pantangan almarhum Mbah Djuwul. Mbah Djuwul dulu pernah berpesan agar anak cucunya tidak membeberkan riwayat Mbah Djoego dan Mbah Iman Soedjono. Menerima amanat itu, semua ahli warisnya Mbah Iman Soedjono, selalu patuh. Sampai-sampai tidak menyadari bahwa keadaan negara ini sudah lama Merdeka. Artinya: seandainya mereka memaparkan riwayat Mbah Djoego dan Mbah Iman Soedjono pun tidak perlu takut-takut lagi. Sebab almarhum berdua bukan musuh pemerintah melainkan musuh atau buronan penjajah. Ialah pemerintah koliniak hindia belanda.
Barulah jalan pikiran mereka terbuka sesadar-sadarnya, ketika pemerintah mengadakan penelitian sejarah ke Gunung Kawi sini pada th. 1967. Adapun badan pemerintahnyang menangani ialah Badan Kordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan masyarakat tingkat 1 dari penguasa pelaksana perang daerah (pepelrada) Jawa Timur.
Penelitian sejarah Gunung Kawi itu dilaksanakan pada 8 s/d 12 pebuari 1967 di bawah pimpinan Ass. l Kodam Vlll/BRAWIJAYA. Kol Soeparno.
Komentar
Posting Komentar